Saat berada di Tanah Suci inilah, Kiai Bisri Syansuri melepas keperjakaannya. Dia menikah dengan adik perempuan Abdul Wahab Chasbullah, Nur Khodijah dan dikaruniai sebayak 9 orang anak.
Setelah menikah, dia kembali ke Tanah Air dan menetap di Tambak Beras Jombang. Pada periode inilah, ilmu agama Kiai Bisri Syansuri cukup matang. Perhatiannya terhadap pendidikan agama anak perempuan sangat besar.
Dia lalu membuka kelas khusus untuk santri perempuan. Saat itu, pendidikan model ini masih belum ada. Sehingga, sangat pantas rasanya jika Kiai Bisri Syansuri disebut sebagai pelopor pendidikan santriwati di Indonesia.
Pada tahun 1917, dia mendirikan Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang. Pada pondok inilah, para santri perempuan mendapatkan pendidikan ilmu agama. Belajar agama saat itu, sama dengan berjuang.
Setelah Nur Khodijah meninggal, Kiai Bisri Syansuri menikah lagi dengan Hj Mariam atau Nadhifah, puteri Mahmoed Shiddiq, temannya saat di Pesantren Kiai Khalil Bangkalan.
Saat itu, Kiai Bisri Syansuri sudah terjun ke politik. Saat masa penjajahan Jepang, Kiai Bisri Syansuri menjadi Kepala Staf Markas Oelama Jawa Timur (MODT) yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.
Dia juga mewakili Masyumi dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada 1956, dia menjadi anggota dewan konstituante hingga pemilihan umum 1971.
Ketika NU bergabung dengan PPP, dia menjadi ketua majelis syuro. Selain menjadi Rais Am Majelis Syuro DPP PPP, dia juga Rais Am PBNU. Dia meninggal dalam usia 94 tahun, pada 25 April 1980 di Denanyar. Demikian ulasan singkat Cerita Pagi ini diakhiri. Semoga bermanfaat.
Sumber tulisan:
1. Greg Barton, Biografi Gus Dur, LKiS, 2003.
2. Teh Usi, Hikayat Ulama Nusantara, GUEPEDIA, Buku Elektronik.
3. Siti Nur Aidah, Biografi Para Kiai Pendiri Nahdlatul Ulama, KBM Indonesia, Buku Elektronik.
4. Majalah Risalah NU edisi 115, Isyarat Langit Berdirinya NU.
Artikel ini telah diterbitkan di SINDOnews dengan judul Kiai Bisri Syansuri Pelopor Pendidikan Santriwati di Indonesia
Editor : Putra
Artikel Terkait