"Banyak orang yang akhirnya bertafakur, banyak orang yang menepi. Akhirnya lama-lama kan bisa didatangi banyak orang, ketika orang merasa sukses, akhirnya dibangun," kata Suwardono kepada MNC Portal Indonesia .
Lanjutnya, Suwardono, menambahkan bahwa banyaknya orang yang akhirnya merasa berhasil setelah melakukan tafakur di sana, sehingga lokasi ini menjadi populer. Ketika seseorang mencapai kesuksesan, seringkali mereka kembali ke Gunung Kawi.
"Itu istilahnya bertafakur di sana, merasa berhasil usahanya itu entah dari situ atau karena entah giatnya berusaha, paling nggak kan punya ujar, saya akan kembali,"terangnya.
Terkait dengan sejarah keraton di Gunung Kawi, Suwardono mengungkapkan bahwa dia tidak memiliki informasi pasti mengenai kapan keraton itu dibangun.
Akan tetapi, ia memprediksi bahwa bangunan tersebut bukanlah bagian dari sejarah masa Hindu Buddha, karena makam yang ada memiliki arsitektur Islam. Hal ini menunjukkan bahwa keraton ini mungkin dibangun dalam periode yang lebih baru.
"Keraton juga seperti itu dulunya yang membangun, saya pun juga kaget, dulu nggak ada seperti itu. Ada makam itu dibangun sama orang-orang yang mungkin sukses atau apa, banyak itu sekarang gitu, bukan hanya untuk usaha untuk politik juga banyak," pungkasnya.
Penting untuk dicatat bahwa Gunung Kawi memiliki dua tempat wisata religi dan ziarah yang berbeda, yaitu Keraton Gunung Kawi dan Pesarean Gunung Kawi, yang memiliki makam-makam yang berbeda, seperti makam Eyang Djoego dan Eyang Raden Mas Iman Soedjono di Pesarean Gunung Kawi.
Tempat-tempat ini terus memikat peziarah dan peneliti yang ingin memahami sejarah dan budaya di balik pesugihan dan kepercayaan yang ada di sana.
Editor : Putra
Artikel Terkait