BLITAR, iNewsPonorogo.id - Eyang Djojodigdo, seorang patih dari Kadipaten Blitar, menjadi sosok yang sangat dikenal karena kesaktiannya yang luar biasa. Dikenal dengan panggilan akrab Eyang Djojodigdo, beliau diyakini memiliki ilmu Pancasona atau ajian Rawa Rontek, suatu ilmu yang konon memungkinkannya hidup kembali jika terbunuh, jika jasadnya menyentuh tanah.
Eyang Djojodigdo, pengikut setia Pangeran Diponegoro, memiliki keturunan ningrat dari Kerajaan Mataram dan adalah putra Adipati Kulon Progo, DIY.
Kesaktiannya dikenal dalam peperangan melawan tentara kolonial Belanda, di mana ia melanjutkan perlawanan gerilya setelah Pangeran Diponegoro ditangkap.
Sejarah mencatat bahwa Eyang Djojodigdo, sebelum diangkat sebagai patih, merupakan seorang yang tekun dalam tirakat dan puasa, menguasai berbagai ilmu kanuragan.
Keuletannya dalam menjalani tirakat membuatnya mampu menguasai ilmu Pancasona atau Ajian Rawa Rontek, yang membuatnya menjadi sosok menakutkan bagi Belanda.
Meskipun dieksekusi beberapa kali oleh tentara Belanda, kesaktian Eyang Djojodigdo memungkinkannya hidup kembali setiap kali jasadnya menyentuh tanah, tanpa sepengetahuan Belanda.
Menghindari pengawasan ketat di Yogyakarta, Djojodigdo melanjutkan perang gerilya ke arah timur bersama pengikutnya.
Perlawanan sengit mereka di wilayah Blitar selatan membuat Belanda mengalami kesulitan, sehingga mereka akhirnya melepaskan Kadipaten Blitar.
Adipati Blitar menghargai jasa Djojodigdo dan memberinya tanah di Jalan Melati, Kota Blitar, di mana beliau membangun Pesanggrahan Djojodigdo.
Wafat pada tahun 1905 dalam usia lebih dari seratus tahun, Eyang Djojodigdo dimakamkan dalam peti besi yang digantung, dikenal sebagai Makam Gantung di Jalan Melati, Blitar.
Makamnya menjadi tempat ziarah, terutama bagi para spiritualis yang ingin mendapatkan ilmu Pancasona secara gaib.
Konon, makamnya dijaga oleh dua sosok gaib berbentuk hewan besar, yang dulunya merupakan pengawal pribadi atau khodam Eyang Djojodigdo semasa hidup.
Editor : Putra
Artikel Terkait