PONOROGO, iNewsPonorogo.id - Sebuah prosesi yang cukup sakral selalu dilakukan oleh sesepuh dan bupati Kabupaten Ponorogo setiap tahunnya, menjelang tahun baru Islam atau masyarakat Jawa menyebutnya satu Suro.
Salah satu prosesi dan ritual adalah melakukan jamasan tiga pusaka milik Ponorogo yaitu Tombak Kiai Tunggul Nogo Sabuk Angkin Cinde Puspito dan Payung Songsong Kiai Tunggul Wulung, setelah sebelumnya di kirab dari kota lama atau di Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan menuju ke kota tengah atau yang sekarang jadi pusat pemerintahan.
"Kirab pusaka ini simbol perpindahan pusat pemerintahan dari Kota Lama ke Kota Tengah. Dulunya perpindahan itu terjadi pada tahun 1837 saat bupatinya Eyang Mertonegoro," kata salah satu budayawan Ponorogo, Sunarso.
Menurut Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko mengungkapkan bahwa ada makna tertentu di tiga pusaka peninggalan Batoro Katong ini, atau dikenal sebagai pendiri Ponorogo.
“Payung atau Songsong punya arti dimana stratanya baik lurah, entah dimana pemimpin harus mampu memayungi. Kemudian tombak, tombak itu tajam di depan pemimpin harus mengambil resiko. Kemudian Angkin atau sabuk artinya harus mampu mengencangkan ikat pinggang tidak boleh rakus, tidak semena mena, semata mata untuk masyarakat,” ungkapnya.
Pada prosesi atau ritual jamasan pusaka, airnya diambilkan dari 7 mata air yang ada di Ponorogo, diantaranya, sumber air Telaga Ngebel, sumber air Masjid Tegalsari, dan sumber mata air lainnya. Kemudian dibawa oleh para dayang-dayang dari Komunitas Srikandi bumi wengker (SBW).
Desy Norma Alvionita salah satu pembawa 7 mata air untuk jamasan pusaka mengaku sangat senang, meski baru kali pertama dalam prosesi yang cukup sakral ini.
“Sangat senang dan bangga, bisa menjadi bagian dari prosesi jamasan pusaka, semoga tahun depan bisa berpartisipasi lagi,” pungkas Desy.
Gelaran Grebeg Suro bukan sekedar ritual budaya masyarakat adat Ponorogo saja, namun juga salah satu unggulan destinasi wisata guna menjadi bagian dari kota kreatif dunia atau UCCN.
Editor : Putra
Artikel Terkait