JAKARTA, iNews.id - Wilayah Indonesia rawan dengan berbagai jenis bencana karena letak geografis dan geologisnya yang berada di antara tiga lempeng benua dan jajaran gunung api. Untuk mengantisipasi dan mengurangi risiko, strategi penanganan dan upaya mitigasi bencanasangat diperlukan.
Di Indonesia, tidak ada bencana yang bersifat baru. Bencana tersebut pasti berulang. Nenek moyang telah mewariskan pengetahuan atau kearifan lokal guna terhindar dari dampak bencana.
Pengetahuan atau kearifan lokal tersebut merupakan hasil dari adaptasi serta pengalaman dari kejadian yang pernah terjadi di daerah tersebut.
Berikut daftar mitigasi bencana berbasis kearifan lokal:
1. Smong, Pengetahuan Lokal Pulau Simeleu
Smong berasal dari bahasa Devayan, bahasa asli Simeulue yang diartikan sebagai empasan gelombang air laut. Smong adalah kearifan lokal berdasarkan pengalaman masyarakat Simeulue terhadap gempa bumi dan tsunami. Kisah Smong diperkirakan telah lama dikenal oleh masyarakat Simeulue.
Pada 1907, ombak besar menghantam pesisir Pulau Simeulue terutama di Kecamatan Teupah Barat. Gempa berkekuatan M7,6 ini menjadi mimpi buruk serta pelajaran masyarakat Simeulue. Akibat peristiwa ini, rumah serta surau hancur, harta benda hilang, hingga nyawa banyak yang tak tertolong.
Smong ini diceritakan secara turun-menurun melalui nafi. Nafi merupakan budaya lokal masyarakat Simeulue berupa cerita atau tutur yang berisi petuah kehidupan serta nasihat. Smong termasuk di dalamnya.
Para tokoh adat hingga tetua menyampaikan nafi kepada generasi muda guna menjadi pelajaran. Smong disampaikan kepada generasi muda dalam berbagai kesempatan. Misalnya Smong disampaikan saat memanen cengkeh. Dahulu, Simeuleu terkenal dengan cengkehnya.
Selain itu juga disampaikan di surau mengaji setelah salat Magrib. Smong juga menjadi pengantar tidur anak di malam hari. Saat ini, media penyampaian Smong mulai bertambah. Awalnya hanya melalui nafi, saat ini Smong diceritakan melalui Nanga-nanga dan kesenian Nandong masyarakat Simeulue. Tak hanya itu, Smong disenandungkan melalui puisi dan lagu.
2. Tagari Lonjo
Menurut masyarakat Balaroa, Palu dan sekitarnya, Tagari mempunyai arti daerah sedangkan Na’Lonjo yang berasal dari bahasa Kaili yang mempunyai arti tertanam atau daerah yang berawa. Tagari Lonjo ini berkaitan dengan bencana alam, yaitu likuifaksi (tanah bergerak sendiri).
Tagari Lonjo menceritakan larangan untuk melalui daerah Lonjo. Pada saat itu, pedagang yang berasal dari Marawola menuju Pasar Tua Bambaru lebih memilih memutar melalui jalur Duyu.
Pedagang khawatir apabila melewati jalur Lonjo akan tertanam di dalam lumpur. Padahal jalur Lonjo ini jalur tersingkat menuju Pasar Tua Bambaru. Diketahui, daerah Lonjo ini struktur tanahnya labil sehingga beban berat yang berada di atasnya dapat ambles.
Sementara di bagian timur daerah Lonjo terdapat Tonggo Magau. Tonggo Magau berarti tempat berkubangnya kerbau milik Raja Palu. Tonggo Magau ini juga dikisahkan turun temurun, yaitu tentang hilangnya kerbau Raja Palu. Diketahui, kerbau yang hilang tersebut jatuh di lubang yang tak jauh dari Tonggo Magau. Masyarakat setempat menamakannya dengan Pusentasi, yang berarti pusat laut.
Menurut masyarakat sekitar, Pusentasi akan naik jika laut sedang terjadi pasang. Sementara, jika air laut surut, maka permukaan air di Pusentasi juga ikut turun. Namun seiring perkembangan zaman, masyarakat mulai lupa akan larangan untuk menjauhi daerah tersebut.
Tagari Lonjo menjadi booming setelah terjadinya peristiwa likuifaksi yang terjadi di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah. Diketahui, gempa bumi yang terjadi pada September 2018 ini menimbulkan likuifaksi. Tercatat, ada ribuan rumah yang terkena dampak likuifaksi.
3. Bukit Umanyar
Di wilayah Bali tercatat sering terjadi bencana gempa bumi. Pada 1917, gempa menghantam Bali dengan kekuatan M7. Gempa tersebut berlangsung selama 50 detik, mengakibatkan bangunan hingga pura rata dengan tanah.
Selain itu, Bali juga pernah dihantam gempa bumi berkekuatan 6,5 SR pada 1976. Peristiwa tersebut terekam dalam cerita rakyat, yang mengisahkan bagaimana Bukit Umanyar konon awalnya tidak berada di dekat laut.
Cerita tersebut mengisahkan, dulu kala bukit itu berjalan menuju laut. Hingga akhirnya seorang yang memelihara bebek tersentak serta berteriak, “Bukit Umanyar berjalan menuju laut!”
Perihal kebencanaan di Bali tidak hanya terdapat di cerita lisan saja, namun juga terdapat pada lontar Asta Kosala Kosali dan Asta Bumi. Pada naskah tersebut, pesisir pantai tidak dianjurkan menjadi kawasan permukiman, kecuali untuk pelabuhan.
4. Teteu Amusiast Loga
Masyarakat Mentawai mempunyai mitigasi bencana dengan kearifan lokal. Mereka memiliki lagu berjudul Teteu Amusiast Loga. Lagu tersebut sering dinyanyikan oleh anak-anak ketika bermain.
Lagu Teteu Amusiast Loga ini layaknya early warning system yang bersifat kultural bagi masyarakat Mentawai. Lagu tersebut mengingatkan masyarakat Mentawai akan bahaya gempa bumi.
Bahkan, lagu Teteu sudah ada sejak nenek moyang mereka mendiami Mentawai. Dalam Bahasa Mentawai, Teteu diartikan sebagai kakek atau gempa bumi. Sementara Amusiat Loga diartikan sebagai bentuk kepanikan tupai saat terjadi gempa.
Bagi masyarakat Mentawai, Teteu merupakan salah satu penguasa bumi. Apabila Teteu murka, dia akan menggoncangkan Bumi hingga terjadi gempa. Sebelum gempa mengguncang, terdapat tanda yang disampaikan oleh binatang. Misalnya, tupai akan tampak gelisah.
Selain itu, ayam juga akan berkotek tanpa ada sebab. Teteu Amusiast Loga ini menceritakan tentang kearifan masyarakat Mentawai guna menjaga keseimbangan alam sehingga terhindar dari bencana.
Editor : Putra
Artikel Terkait