Dengan bangga, Mbah Sarno menceritakan kisah heroik dan perjuangannya untuk NKRI. Ia pernah menerima surat tanda penghargaan Satya Lenjana Wira Dharma yang ditandatangani oleh Menteri Koordinator Keamanan dan Pertahanan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution pada 26 Maret 1966. Tanda jasa ini menjadi salah satu bukti bahwa Mbah Sarno dulunya adalah seorang pejuang.
"Saya menjadi anggota militer sukarela sejak tahun 1960 sampai 1969. Pertama dimulai tahun 1960 menjadi Darul Islam, tentara Islam Indonesia di Jawa Barat," katanya.
Kemudian, ia ikut perang pemberantasan PRRI di Sumatra. Ia juga ikut memberantas Kahar Muzakkar di Sulawesi pada operasi ketiganya.
Pada operasi keempat, ia bertugas ke Irian untuk merebut Irian Barat. Berbagai pengalamannya tersebut ternyata tidak cukup membuatnya diakui negara sebagai veteran, sehingga kini hidup terlunta-lunta sebatang kara.
"Saya sempat mengajukan diri sebagai calon veteran sebanyak dua kali sejak 2014, namun tidak pernah berhasil. Rekan seperjuangan saya dahulu bisa mendapatkan tunjangan veteran," ucapnya.
Kini, Mbah Sarno hanya hidup sebatang kara di usia tuanya. Ia tinggal menumpang di rumah saudaranya yang berbelas kasihan kepadanya. Untuk menyambung hidup, Mbah Sarno hanya mengandalkan bantuan makanan dari sebuah yayasan.
Untuk menghabiskan waktu kesehariannya, Mbah Sarno hanya memiliki radio sebagai hiburan. Tempat tidurnya pun cuma ala kadarnya. Kondisi ini sudah dialaminya sejak beberapa tahun terakhir.
Mbah Sarno menceritakan bahwa dahulu ia sempat menikah namun tidak memiliki keturunan. Istrinya telah meninggal sekitar 20 tahun yang lalu.
Begitulah kisah pilu Mbah Sarno, seorang pejuang veteran yang pernah membantu bangsa Indonesia, namun kini hidup sebatang kara dan berada di garis kemiskinan.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta