“Kalau menggunakan mesin bor beresiko bambu pecah, makanya secara manual,” terangnya.
Lalu Rahmat memilih bambu jenis 'wulung' untuk watangan terompet Reog, karena bambu ini memiliki ketebalan dan diameter yang sesuai. Bahkan diameter bambu yang digunakan tidak melebihi 3 sentimeter.
“Setelah petor, watangan, selanjutnya adalah pitingan, yang terbuat dari kuningan mengerucut, kemudian pada ujungnya diberi kumisan dari batok kelapa,” terangnya.
Lanjutnya, Rahmat menjelaskan bahwa terompet Reog tidak akan lengkap tanpa adanya 'kepikan,' yang merupakan lipatan daun lontar yang menghasilkan suara saat ditiup.
“Kepikan ini ditempatkan di ujung pitingan, yang kemudian ditiup oleh pemain terompet,” pungkasnya.
Sebagai informasi Rahmat mampu menjual 20 hingga 30 terompet dalam satu bulan. Harga terompet ini bervariasi, mulai dari Rp200 ribu hingga Rp500 ribu, tergantung pada tingkat finishing dan ukiran yang ada pada terompet tersebut.
Karya Rahmat Septian adalah contoh nyata dari dedikasi dan keahlian yang diperlukan dalam melestarikan seni tradisional Reog Ponorogo.
Editor : Putra
Artikel Terkait