Kebo-kebo ini terlebih dahulu disuguhkan ubo rampe berupa kembang hingga meminum kopi yang dihidangkan oleh abdi dalem. Usai makan sesaji, rombongan kebo bule yang menjadi cucuk lampah kemudian pergi. Iringan peserta kirab pun dimulai.
Begitu keramatnya kebo ini, masyarakat selalu berebut kotoran kebo yang berjatuhan selama kirab. Mereka meyakini adanya berkah bagi siapa saja yang mendapatkan kotoran kerbau. Tak hanya kotoran, kembang yang tak dihabiskan oleh hewan pusaka serta air minum kerbau ini pun tak luput dari serbuan warga.
Dihimpun dari referensi laman keraton yang mengutip dari buku Babad Sala karya Raden Mas (RM) Said yang dikenal sebagai Adipati Mangkunegaran atau Mangkunegara I mengisahkan bila Kebo ini merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo Kiai Hasan Besari Tegalsari saat itu pada Paku Buwono II saat mengungsi ke Ponorogo. Pada zaman Keraton Mataram kuno.
Kala itu, Paku Buwono II masih tinggal di Keraton Kartasura. Paku Buwono II terpaksa mengungsi ke Ponorogo karena kondisi Keraton Kartasura yang tengah bergejolak akibat geger pecinan.
Setelah geger pecinan berhasil ditumpas, dan Keraton Kartasura berhasil direbut kembali, Paku Buwono II ini pun membawa hadiah dari Bupati Ponorogo kembali ke Keraton kartasura. Kebo bule juga memiliki andil dalam menentukan lokasi baru untuk keraton.
Hal itu karena Keraton Kartasura telah luluh lantak saat geger pecinan, leluhur kebo bule ini pun dilepas. Mereka diikuti oleh para abdi dalem. Singkat cerita, kebo bule itu berhenti di lokasi yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta.
Nama Kiai Slamet sendiri sebenarnya merupakan nama dari salah satu pusaka berbentuk tombak milik Keraton Kasunanan yang sering dibawa berkeliling tembok Baluwarti oleh Paku Buwono X. Saat kirab keliling tembok Keraton, Paku Buwono X selalu ditemani kebo bule yang mengikuti di belakangnya.
Karena rutinitas yang kerap dilakukan inilah kemudian berubah menjadi sebuah tradisi yang terus dilestarikan oleh kerabat keraton hingga saat ini.
Editor : Putra