PONOROGO, iNews.id - Kabupaten Ponorogo memiliki tiga pusaka yang hingga kini masih terawat dengan baik, meski umurnya sudah ribuan tahun. Ketiga pusaka tersebut, yakni Tombak Kiai Tunggul Nogo Sabuk Angkin Cinde Puspito dan Payung Songsong Kiai Tunggul Wulung.
Pusaka menjadi salah satu bukti sejarah berdirinya Kabupaten Ponorogo ini, hanya dikeluarkan atau diperlihatkan setahun sekali, dengan diarak atau biasa disebut kirab Pusaka dan Lintas Sejarah, setiap menjelang 1 Suro.
Menurut informasi Helaran kirab pusaka ini selain mengarak ketiga pusaka juga bagian dari napak tilas perpindahan pusat kota Ponorogo. Dimana dulu berada di Kota Lama atau saat ini di Kelurahan Setono, pindah ke Kota Tengah atau yang sekarang menjadi pusat pemerintahan Ponorogo.
"Kirab pusaka ini simbol perpindahan pusat pemerintahan dari Kota Lama ke Kota Tengah. Perpindahan itu terjadi pada tahun 1837 saat bupatinya Eyang Mertonegoro," kata salah satu budayawan Ponorogo, Sunarso.
Menurut sejarah awalnya sebelum ada Kabupaten Ponorogo, terbagi ada empat Kadipaten. Yakni, Kadipaten Pedanten, Kuto Wetan, Sumoroto dan Polorejo. Keempatnya memiliki kekosongan kepemimpinan dan dijadikan satu Kadipaten dan dipimpin oleh Mertonegoro, menjadi Kabupaten Ponorogo.
‘’Tapi saat itu hanya Sumoroto yang belum bergabung dan baru tahun 1887 bergabung menjadi satu Kabupten Ponorogo,’’ terangnya.
Tombak Kiai Tunggul Nogo, Sabuk Angking Cinde Puspito dan Payung Songsong Kiai Tunggul Wulung merupakan 3 pusaka milik Eyang Batoro Katong. Ketiga pusaka tersebut yang digunakan Eyang Batoro Katong dalam babat Ponorogo.
Masih menurut Sunarso, menambahkan bahwa sebenarnya pusaka milik Ponorogo itu ada empat. Yakni, tombak Kanjeng Kiai Tunggul Nogo, Payung Kiai Tunggul Wulung, Angkin atau Cinde Puspito, dan keris Kiai Kodok Ngorek.
‘’Tapi keris Kiai Kodok Ngorek itu sudah tidak ditemukan lagi setelah Bupati Cokronegoro yang kedua,’’ ungkapnya.
Setelah Bupati Eyang Mertohadinegoro meninggal dunia, posisi bupati digantikan Cokronegoro. Saat itu, Ponorogo memiliki pusaka tambahan. Sebab, kakeknya menjadi menantu Pakubuwono III dan diberi keris Kiai Kodok Ngorek.
Keris itu sempat menjadi pusaka milik Ponorogo namun hanya sampai Eyang Cokronegoro kedua. Sampai sekarang belum diketahui tempatnya dimana. Namun, masih ada bukti sejarahnya.
‘’Saya pernah menemukan literaturnya di perpustakaan milik Keraton Kasunanan Solo,’’ jelasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, bahwa Pusaka Kanjeng Tunggul Nogo dan Tunggul Wulung itu milik Majapahit, Eyang Brawijaya kelima. Dimana pada saat itu terjadi perebutan kekuasaan, kedua pusaka itu, lantas M ada yang merawat, yakni Eyang Joyodrono dan Joyodipo.
Saat dalam kondisi terhimpit, Brawijaya berpesan kalau ada orang yang mengetahui keberadaan tombak pusaka itu, maka ia adalah keturunannya. Kemudian Joyodrono pergi ke Ponorogo. Dalam perjalanannya bertemu dengan Batoro Katong, Patih Seloaji, dan Ki Ageng Mirah.
‘’Eyang Batoro Katong dalam pertapaan nya melihat tombak Kiai Tunggul Nogo dipasang di Goa Segolo-Golo, yang kini ada diwilayah Kelurahan Setono. Makanya tombak tersebut lantas menjadi pusaka ke Eyang Batoro Katong,’’ ungkapnya.
Kehebatan tombak itu terbukti, pada suatu waktu Ponorogo diserang oleh Ki Ageng Kutu. Secara logika Batoro Katong bakal kalah lantaran hanya memiliki 40 santri. Sedangkan, Ki Ageng Kutu memiliki 200 pasukan.
Namun, Batoro Katong dibantu oleh Patih Seloaji yang punya kehebatan dalam berperang. Tombak itu digunakan untuk menghadang dan seketika kuda Ki Ageng Kutu lari tunggang langgang.
‘’Sedangkan Cinde Puspito itu, merupakan sabuk yang dipakai oleh Eyang Batoro Katong, berikut dengan payung Songsong Tunggul Wulung,’’ pungkasnya.
Editor : Putra