Tak hanya jarang diberi makan, ternyata para pekerja juga tak mendapatkan upah dan jaminan kesehatan yang layak. Para pekerja yang sakit pun masih terus dipaksa bekerja dengan kondisi yang memprihatinkan. Para mandor atau pengawas dari Jepang baru mengizinkan pekerja berhenti bekerja kalau sudah tidak mampu lagi berdiri dan bergerak.
“Jepang kala itu mengeluarkan peraturan kigotai tentang romusa. Bahwa setiap romusa yang sakit tetapi masih bisa berdiri dan berjalan diharuskan untuk tetap bekerja kecuali tidak dapat berdiri dan bergerak,” katanya.
Kisah pilu semakin menjadi lantaran pekerja romusha yang harus berjuang menghadapi gigitan nyamuk malaria dan dinginnya udara hutan di malam hari. Tempat tidur tanpa dinding dan hanya beratapkan jerami, menjadikan banyak pekerja sakit hingga berujung meninggal dunia.
“Kalau malam mereka tidur di situ dengan tempat tidak layak dan melawan gigitan nyamuk malaria yang menyebabkan banyak pekerja meninggal dunia. Bisa dibayangkan bekerja dengan kekurangan makanan kemudian malamnya digigit nyamuk malaria yang begitu mematikan ada yang sakit melarikan diri, tapi akhirnya meninggal di hutan,” katanya.
Tak ayal sejumlah pekerja yang meninggal langsung dimakamkan oleh tentara Jepang di sekitar area Terowongan Niyama. Hal ini membuat residu energi kisah kelam di Terowongan Niyama masih terasa hingga kini.
“Kalau yang meninggal di hutan ketahuan warga biasanya dimakamkan, tapi kalau nggak ya membusuk jenazahnya, kalau nggak gitu dimakan binatang buas. Tidak ada upaya mengobati atau mentoleransi saat sakit, jadi sakit ya tetap harus bekerja terus,” katanya bercerita.
Akhirnya parit dan terowongan yang dibangun oleh para pekerja ini selesai dikerjakan dan dibuka Juli 1944. Imbas dari beroperasinya saluran parit dan terowongan ini, rawa-rawa di sekitar Campurdarat sudah mengering, lebih dari 16.000 are tanah kemudian digunakan masyarakat menjadi sawah yang subur.
Editor : Putra