PONOROGO, iNewsPonorogo.id - Terompet adalah bagian dari salah satu alat musik yang tak terpisahkan dari seni Reog Ponorogo. Bentuknya yang unik serta mengeluarkan suara yang khas melengking. Bahkan ketika pertunjukan Reog suara terompetlah yang paling mendominasi dari beberapa alat musik yang lain.
Pembuatan terompet Reog ini memerlukan keahlian khusus dan pemilihan bahan baku yang tepat. Di antara para pembuat terompet Reog di Ponorogo, adalah Rahmat Septian, seorang pemuda dari Desa Nambangrejo, Kecamatan Sukorejo, Ponorogo.
Rahmat, seorang yang juga mahasiswa seni tersebut, telah menguasai seni membuat terompet sejak masih sekolah. Bahkan sejak SMP, dia sudah ahli dalam memainkan terompet Reog.
Dalam proses pembuatan terompet, Rahmat terampil dalam memahat kayu yang menjadi ujung terompet, juga dikenal sebagai petor. Kayu yang dipilih oleh Rahmat bukan sembarang kayu, melainkan harus dari jenis sono keling, jati, atau kayu langka seperti kayu mentaos.
“Jenis kayu ini juga berpengaruh terhadap kualitas suara terompet, dan juga karakter terompet itu tersendiri,” kata Rahmat.
Masih menurut Rahmat mengungkapkan bahwa saar melakukan semua pekerjaan ini, ia lakukan sendiri, bahkan seringkali sampai harus mencari bambu sebagai bahan "watangan," bagian terompet yang memiliki lima lubang untuk memainkan nada.
Pembuatan terompet Reog ini yang unik adalah dalam proses melubangi watangan, Rahmat tidak menggunakan mesin bor, melainkan besi yang dipanaskan di atas kompor, kemudian ditusukkan ke bambu hingga berlubang.
“Kalau menggunakan mesin bor beresiko bambu pecah, makanya secara manual,” terangnya.
Lalu Rahmat memilih bambu jenis 'wulung' untuk watangan terompet Reog, karena bambu ini memiliki ketebalan dan diameter yang sesuai. Bahkan diameter bambu yang digunakan tidak melebihi 3 sentimeter.
“Setelah petor, watangan, selanjutnya adalah pitingan, yang terbuat dari kuningan mengerucut, kemudian pada ujungnya diberi kumisan dari batok kelapa,” terangnya.
Lanjutnya, Rahmat menjelaskan bahwa terompet Reog tidak akan lengkap tanpa adanya 'kepikan,' yang merupakan lipatan daun lontar yang menghasilkan suara saat ditiup.
“Kepikan ini ditempatkan di ujung pitingan, yang kemudian ditiup oleh pemain terompet,” pungkasnya.
Sebagai informasi Rahmat mampu menjual 20 hingga 30 terompet dalam satu bulan. Harga terompet ini bervariasi, mulai dari Rp200 ribu hingga Rp500 ribu, tergantung pada tingkat finishing dan ukiran yang ada pada terompet tersebut.
Karya Rahmat Septian adalah contoh nyata dari dedikasi dan keahlian yang diperlukan dalam melestarikan seni tradisional Reog Ponorogo.
Editor : Putra