Lebih lanjut, ia menjelaskan, bahwa Pusaka Kanjeng Tunggul Nogo dan Tunggul Wulung itu milik Majapahit, Eyang Brawijaya kelima. Dimana pada saat itu terjadi perebutan kekuasaan, kedua pusaka itu, lantas M ada yang merawat, yakni Eyang Joyodrono dan Joyodipo.
Saat dalam kondisi terhimpit, Brawijaya berpesan kalau ada orang yang mengetahui keberadaan tombak pusaka itu, maka ia adalah keturunannya. Kemudian Joyodrono pergi ke Ponorogo. Dalam perjalanannya bertemu dengan Batoro Katong, Patih Seloaji, dan Ki Ageng Mirah.
‘’Eyang Batoro Katong dalam pertapaan nya melihat tombak Kiai Tunggul Nogo dipasang di Goa Segolo-Golo, yang kini ada diwilayah Kelurahan Setono. Makanya tombak tersebut lantas menjadi pusaka ke Eyang Batoro Katong,’’ ungkapnya.
Kehebatan tombak itu terbukti, pada suatu waktu Ponorogo diserang oleh Ki Ageng Kutu. Secara logika Batoro Katong bakal kalah lantaran hanya memiliki 40 santri. Sedangkan, Ki Ageng Kutu memiliki 200 pasukan.
Namun, Batoro Katong dibantu oleh Patih Seloaji yang punya kehebatan dalam berperang. Tombak itu digunakan untuk menghadang dan seketika kuda Ki Ageng Kutu lari tunggang langgang.
‘’Sedangkan Cinde Puspito itu, merupakan sabuk yang dipakai oleh Eyang Batoro Katong, berikut dengan payung Songsong Tunggul Wulung,’’ pungkasnya.
Editor : Putra
Artikel Terkait