Menguak Tradisi Kawin Tangkap yang Viral di Media Sosial

Putra
Tradisi kawin paksa di NTT yang viral di Medsos foto: istimewa

NTT, iNewsPonorogo.id - Baru-baru ini, media sosial diramaikan dengan video viral yang memperlihatkan aksi kawin tangkap yang terjadi di Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Tiga video yang beredar merekam momen perempuan diculik oleh belasan pria langsung menjadi perbincangan hangat masyarakat luas.

Dalam video tersebut, kita bisa melihat seorang perempuan berdiri di pinggir jalan yang tiba-tiba digotong dan dimasukkan ke dalam sebuah mobil pikap oleh sekelompok pria berpakaian adat. Mereka bersorak-sorai setelah berhasil menculik perempuan tersebut dan segera pergi dari lokasi.

Video lainnya menampilkan perempuan yang diculik disandingkan dengan seorang pria di atas tikar rumah adat, sementara mereka disajikan kopi dan sirih pinang, sebagai bagian dari tradisi adat.

Peristiwa ini memicu respons dari Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS), terutama karena perempuan yang menjadi korban penculikan adalah anggota jemaat GKS Mata, Sumba Barat Daya. Namun, lebih dari sekadar peristiwa lokal, kontroversi ini mengungkapkan sebuah tradisi yang telah lama menuai kritik dan kontroversi di wilayah Sumba, NTT.

Tradisi kawin tangkap, yang disebut juga sebagai perkawinan tanpa peminangan, merupakan praktik yang berakar dari budaya nenek moyang masyarakat pedalaman Sumba. Tradisi ini diyakini telah berlangsung secara turun-temurun hingga saat ini.

Pada dasarnya, kawin tangkap melibatkan perempuan yang ditangkap dan dipaksa menikah dengan alasan yang dianggap sah secara budaya. Namun, perempuan tersebut tidak selalu setuju untuk menikah dengan laki-laki yang 'menculik'nya.

Kawin tangkap juga bisa terjadi karena adanya halangan dari persyaratan adat lainnya, namun pihak laki-laki tetap memaksa untuk menikahinya. Dalam konteks tradisi ini, seorang perempuan biasanya sudah didandani, dan calon mempelai pria juga tampil dengan pakaian adat serta menunggangi seekor kuda.

Setelah penangkapan, pihak laki-laki memberikan sebuah parang dan seekor kuda kepada perempuan sebagai tanda permohonan maaf dan tanda bahwa perempuan tersebut sudah berada di rumah keluarga pihak laki-laki. Tradisi ini menjadi unik karena sangat memperhatikan nama baik kedua keluarga, terutama dengan latar belakang keluarga yang terlibat.

Namun, kawin tangkap telah lama menuai kritik karena dianggap melanggar hak-hak perempuan dan hak asasi manusia (HAM). Di dalamnya terdapat elemen paksaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih modern. 

Oleh karena itu, meskipun tradisi ini masih dilestarikan di sebagian wilayah Sumba, ada tuntutan yang semakin keras untuk memahami dan menghormati hak-hak perempuan dalam konteks budaya yang terus berubah.

Editor : Putra

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network