Sudah jelas dampak penurunan muka tanah dan semakin dekatnya air laut turut dirasakan warga Kampung Bungin. Apalagi, mata pencaharian terbesar di Kampung ini berasal dari kekayaan lautan.
Hal ini terlihat dari air laut yang semakin mendekat ke daratan. Apalagi kapal-kapal nelayan harus terhambat melintas untuk sekadar mencari nafkah
"Nelayan di sini kan dijualin hasil lautnya. Dulu itu bisa dari jam 9 pagi kan turun (ke laut), sekarang baru jam-jam 12 siang nunggu pasang air laut, otomatis hasilnya berkurang juga," tutur Narwi.
Uniknya, menurut Narwi kecemasan warga akan ancaman tenggelamnya kawasan tersebut dianggap biasa. Padahal, Narwi menilai air laut yang terus mengikis daratan dapat ditahan.
"Yang namanya cemas itu biasa, karena kebiasaan yang namanya kebanjiran, apa kekeringan biasa. Saya terus terang saja, kami minta diperhatikan oleh Pemerintah, bahasa kita itu di dum, pinggirannya (daratan) dikasih batu-batu yang segi empat, sudah beres itu," ucap dia.
Tak hanya Narwi, penurunan muka tanah juga dirasakan oleh warga lainnya, yakni Nawan Hermawan. Ia mengaku setiap tahun lokasi tempat tinggalnya selalu habis dilahap air laut. Apalagi banjir rob semakin mengikis daratan di sana.
"Jadi kalau banjir rob, air itu kan menghantam tanah (daratan), lama-lama terkikis itu tanahnya, makanya lama-lama kemari (air mendekat)," ujar Nawan.
Nawan tak merinci luas total daratan yang sudah menjadi laut tersebut. Ia memperkirakan ada ratusan jiwa yang harus pindah karena tempat mereka tak bisa dihuni.
"Sejak tahun 2005, jadi kira-kira 17 tahun itu daratan sudah berkurang satu kilometer," ucap dia.
Editor : Putra
Artikel Terkait