Selain itu kata Sri, ada pula tradisi 'meng-anak-an' calon pengantin Batak yang berasal dari etnis non-Batak. Biasanya pengantin wanita yang bukan berasal dari etnis Batak akan diberikan marga sesuai dengan marga ibu dari calon suaminya.
"Jadi sebelum prosesi adat pernikahan, biasanya pengantin perempuan yang bukan dari Batak akan diberikan marga yang sama dengan ibu si pengantin laki-laki. Bahkan di masyarakat Karo, meskipun bermarga Batak, keluarga dari pihak paman saudara ibu pengantin pria akan bertanya kesediaan si pengantin perempuan untuk menjadi anak mereka," ucapnya.
"Jadi walaupun bermarga, misalnya Ginting, tapi kemudian ibu pengantin pria bermarga Tarigan, nanti dalam proses adat sebelum menikah calon pengantin perempuan akan dijadikan anak dari keluarga Tarigan. Ini akan menentukan posisinya nanti dalam struktur adat saat acara-acara tertentu. Jadi nanti tahu duduk di pihak mana kalau ada acara adat," katanya.
Menurutnya, mengacu pada rosesi seperti itu (penganakan) artinya tidak ada larangan menikah dengan suku lain.
"Tapi sekali lagi saya tegaskan itu dari subetnis Karo ya. Saya tidak berani menyatakan pendapat yang mewakili seluruh subetnis Batak," ujarnya.
"Jadi kalau dibilang mitos (larangan perkawinan Batak dengan Jawa) mungkin tidak ada. Tapi mungkin pengalaman yang dimitoskan," katanya lagi.
Sihol Situmorang, seorang tetua ada Batak Toba di Medan menjelaskan, jika di dalam adat Batak Toba, ada dikenal Tradisi Mangain. Tradisi ini dilakukan untuk mengangkat anak dan memberikan marga bagi calon pengantin dari etnis non-Batak yang akan menikah dengan orang Batak.
Editor : Putra