JAKARTA, iNewsPonorogo.id - Banyak cerita dan kisah spiritual seseorang ketika memeluk sebuah agama, seperti halnya seorang sosiolog Wieslaw Zejieski. Selain ada banyak alasan ia juga merubah namanya setelah memeluk Islam menjadi Ismail Wieslaw Zejieski.
Reformer, kelahiran Krakov, Polandia pada tanggal 8 Januari 1900 ini terlahir dari keluarga bangsawan Polandia. Pada awalnya, Zejieski beragama Katolik .
"Ayah saya, walaupun beliau seorang atheist, cukup toleran terhadap anak-anaknya untuk mengikuti pelajaran agama pada Gereja Katolik Roma yang dianut oleh sebagian besar bangsa Polandia," ujarnya.
Ibunya juga memeluk agama Katolik. Sejak masih usia anak-anak, ia sudah biasa menghargai agama dan meyakini bahwa agama itu unsur penting dalam kehidupan seseorang dan masyarakat.
Berikut penuturan selengkapnya Ismail Wieslaw Zejieski sebagaimana dinukil dalam buku yang diterjemahkan Bachtiar Affandie berjudul "Mengapa Kami Memilih Islam" oleh Rabithah Alam Islamy Mekkah (PT Alma'arif, 1981).
Ayah saya sejak masih muda banyak bepergian ke berbagai negara di Eropa. Beliau sering menceritakan pengalaman-pengalamannya kepada kami yang menimbulkan kesan suasana internasional pada jiwa kami, sehingga soal-soal kebangsaan, kedaerahan dan kebudayaan itu tidak memberatkan pikiran saya lagi. Bahkan saya selalu merasa bahwa tanah air saya itu adalah dunia seluruhnya.
Kemudian dalam rumah kami ada semangat "jalan tengah." Ayah saya, walaupun beliau seorang keturunan keluarga aristokrat, beliau tidak menghargai permainan klas-klas yang tidak dapat dibuktikan dan membenci segala macam bentuk paksaan atau diktatorship dalam bentuk apa pun juga.
Beliau juga tidak menyetujui kegiatan-kegiatan revolusioner yang bertentangan dengan ketentraman umum. Malahan beliau tertarik kepada perkembangan (evolusi) yang berlangsung atas dasar tradisi yang baik yang diwariskan oleh para leluhur kami.
Dalam kenyataan beliau merupakan model seorang yang menyetujui "jalan tengah" Tidaklah mengherankan bahwa sesudah saya menjadi seorang pemikir bebas dan tertarik secara khusus kepada soal-soal kemasyarakatan, saya menempuh "jalan tengah" juga dalam memecahkan segala kesulitan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan.
Saya selalu merasa bahwa tindakan-tindakan ekstrem itu bertentangan dengan tabi'at umumnya kemanusiaan, dan karena itu maka tindakan kompromi adalah satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkan alam kemanusiaan.
Saya percaya bahwa organisasi kemasyarakatan harus berdasarkan kebebasan yang berdisiplin, atau dengan lain perkataan, organisasi yang menghormati kebebasan dan kebijaksanaan tradisi. Dan kita harus memperkembangkan tradisi-tradisi itu supaya sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Tidak pula mengherankan bahwa saya dididik dalam semangat "jalan tengah" supaya saya menjadi "orang jalan tengah" juga. Bolehlah disebutkan bahwa saya ini adalah seorang traditionalist progressive.
Pada waktu saya berusia 16 tahun, saya banyak meragukan macam-macam kepercayaan yang diajarkan oleh Gereja Katolik Roma yang dinyatakan "Tidak akan pernah salah" itu.
Saya tidak sanggup memercayai Trinitas, perpindahan korban kepada daging dan darah Yesus (transubstantiation), perantaraan yang dilakukan oleh para pendeta antara manusia dengan Allah, atau tentang tidak bisa salahnya Paus dan keefektifan kata-kata magis yang diberikan oleh para pendeta dalam gereja.
Saya tidak bisa menyembah Maria, para Pendeta, patung-patung, gambar-gambar dan lain-lain.
Akhirnya saya mengingkari segala apa yang pernah saya percayai, dan tidak lagi mau memedulikan soal-soal agama. Pecahnya perang dunia ke-II telah menyebabkan tumbuhnya kembali rasa keagamaan dalam jiwa saya.
Tuhan telah membuka mata saya, dan saya berpendapat bahwa manusia memerlukan ideologi, dan memang tidak mungkin manusia tanpa ideologi, jika manusia ingin selamat dari kehancuran.
Editor : Putra