“Jadi kadang kalau kelas kurang mereka di gereja, balai atau di teras gereja. Itu kalau lengkap, kalau guru tidak lengkap kelas satu dan dua satu kelas, tiga dan empat satu kelas, lima dan enam satu kelas,” ujar Dina yang menjadi guru kelas dua SD itu.
Akibat dari kurangnya jumlah guru tersebut, masih ditemukan banyak siswa pada setiap tingkat kelas belum fasih membaca, menulis maupun berhitung. Sehingga materi belajar hanya sekadar mengenal huruf, belajar membaca dan menulis, itu pun dipukul rata meski pada usia berbeda.
Dina menyebutkan pada kelas dua, dari 32 siswa, hanya ada lima anak yang sudah lancar membaca. Sedangkan pada kelas satu hanya ada sekitar dua orang.
“Bahasa Indonesia mereka bagus, cuma pengertiannya kurang. Di sekolah bahasa daerah dilarang tapi baca dan menulis ini yang masih terlihat sekali,” ucap dia.
Editor : Putra