Bung Karno ingin memastikan kelayakan gagasannya dengan konteks UUDS 1950 yang berlaku saat itu.
Setelah memulai pidatonya dengan menyerang parpol, pada 21 Februari 1947 itu Bung Karno juga blak-blakan menyampaikan keinginan politiknya. Pertama, ia mengusulkan adanya kabinet gotong royong yang mewakili semua partai politik atau semua fraksi di parlemen.
Prinsip dasar yang dipakai adalah kekeluargaan, kegotongroyongan yang merupakan jelmaan jiwa Indonesia. Kedua, Bung Karno mengusulkan adanya elemen Dewan Nasional yang susunannya meliputi segenap bangsa Indonesia tanpa memandang bulu asal golongannya.
Di dalam Dewan Nasional terdiri dari golongan fungsional yang meliputi buruh, petani, cendikiawan, pengusaha nasional, Protestan, Katolik, alim ulama, pemuda dan Angkatan 45. Di dalamnya termasuk juga perwakilan dari daerah-daerah. Para kepala staf, kepala polisi dan menteri-menteri penting akan menjadi anggota.
“Soekarno sendiri akan menjadi ketua dewan itu, yang berfungsi untuk memberi nasihat kepada kabinet, baik diminta maupun tidak diminta. Dia menyimpulkan bahwa sebuah sistem seperti yang diterangkan dalam pidatonya akan berarti kembali kepada kepribadian sendiri,” tulis David Reeve dalam “Golkar Sejarah Yang Hilang, Akar Pemikiran & Dinamika”. Reaksi pro kontra dari para pimpinan parpol langsung bermunculan.
Mereka yang menolak menangkap gelagat, Bung Karno hendak memisahkan ormas-ormas dari partai sekaligus menyatukannya dalam kepentingan fungsional bersama komitmen visi besar Soekarno. Sebab semua perwakilan fungsional di dalam Dewan Nasional berasal dari ormas partai, bukan anggota parpol.
Sementara seperti dikutip dari George McTurnan Kahin dalam “Indonesia, Major Governments of Asia (1963)”, kalangan militer, terutama pimpinan Angkatan Darat (AD) mendukung gagasan Bung Karno. Mereka mendukung pembubaran partai-partai.
Meski mendapat reaksi keras dari perdana menteri dan pemimpin partai, Bung Karno tetap mengeksekusi gagasanya, namun dengan melakukan modifikasi.
Pada 9 April 1957, kabinet baru yang bernama Kabinet Karya dibentuk dengan Presiden Soekarno menunjuk dirinya sendiri sebagai “warga negara Soekarno” yang bertindak sebagai formatur kabinet.
Di bawah pimpinan Djuanda Kartawidjaja, tokoh non partai yang disegani, sebagian besar anggota Kabinet Karya terdiri pemimpin partai dan secara implisit merupakan koalisi PNI-NU.
Bung Karno juga mampu memaksa menteri-menteri menerima jabatannya sebagai individu, bukan sebagai anggota partai. Karenanya parpol sulit menarik kembali anggotanya yang duduk sebagai menteri.
“Kabinet ini sama sekali bukan kabinet gotong royong, tetapi merupakan langkah untuk merebut perangkat pemerintahan resmi dari tangan partai”. Setelah itu, pada Mei 1957 Bung Karno melalui Kabinet Karya resmi mendirikan Dewan Nasional yang dilantik 12 Juli 1957.
Bung Karno menjadi Ketua dan Roeslan Abdulgani sebagai Wakil Ketua. Di dalamnya beranggotakan 14 perwakilan daerah, 21 wakil golongan fungsional dan anggota ex-officio, yakni kepala staf, kepala polisi, jaksa agung, dan ketiga wakil perdana menteri.
Editor : Putra