Adapun sanggahan bahawa Kitab Ihya' di dalamnya banyak memuat hadits dha'if (lemah) adalah pernyataan yang gugur, karena hadits dhaif dapat diamalkan dalam masalah fadha'il amal. Dan Ihya' adalah kitab yang bergenre penyucian jiwa dan itu termasuk dari fadhilah amal.
(Ta'rif al-Ahya bi Fadhail Ihya) Demikian juga Syaikh Sa'id Ramadhan Al-Buthi rahimahullah berkata:
أكثر الأحاديث الضعيفة والمنكرة الواردة فى كتاب إحياء علوم الدين للإمام الغزالى تتعلّق بفضائل الأعمال الثابت فضلها بأدلّة ثابتة أخرى. وعلماء الحديث متفقون على أنه لا ضير فى الإستشهاد بالأحاديث الضعيفة لفضائل الأعمال بشرط أن لا يشتدّ ضعفه وأن لا يوهم الراويأثناء الإستشهاد بها بأنّها صحيحة على أنّ الله قيّض لهذه الأحاديث من أبرزها وميّزها وبيّن ضعفها وهو الحافظ العراقي فما الإشكالالذي يؤرق بالك من هذا الأمر الذي لا إشكال فيه
"Kebanyakan hadits dhaif dan munkar yang ada di dalam Kitab Ihya' Ulumuddin karya Imam Ghazali berhubungan dengan fadhilah amal, yang mana sebenarnya keutamaannya telah tetap dengan beberapa dalil kuat yang lainnya.
Para ulama hadits telah bersepakat bahwa tidak mengapa menjadikan hadits dhaif untuk urusan keutamaaan beramal dengan syarat sifat lemahnya tidak terlalu parah dan tidak menjadikan salah sangka bahwa hadits yang disampaikan adalah hadits shahih.
Selain itu, Allah telah menampakkan kedudukan Hadits-hadits (dalam kitab Ihya) pada seseorang yang menjelaskan kedhaifan hadits-hadits tersebut. Beliau adalah Al-Hafiz al-'Iraqi. Lantas mengapa dipermasalahkan sesuatu yang sebenarnya tidak bermasalah."
Perlu kita ketahui, bahwa Kitab Ihya itu bukanlah kitab hadits, namun di dalamnya terdapat tidak kurang dari 4.800 Hadits, yang ini berarti ia memuat hadits lebih banyak dari beberapa kitab Hadits seperti Al-Muwatha' karya Imam Malik yang hanya 1.720 Hadits. Bahkan lebih tebal dari Sunan Ibnu Majah yang hanya 4341 Hadits.
Sejumlah 5.000-an hadits ini belum lagi ditambah penguasaan Al-Ghozali terhadap hadits-hadits hukum yang beliau gunakan untuk menjelaskan fiqih Mazhab Syafi'i dalam kitab-kitabnya yang lain, yang tentunya jumlahnya lebih banyak.
"Dan kita perlu tahu, ulama pada masa itu tidaklah mencantumkan hadits kecuali yang dihafalnya dengan baik. Berbeda dengan orang hari ini yang menulis karya kadang cukup hanya bermodal copypaste dari artikel," terang Ustaz Ahmad Syahrin.
Editor : Putra