Chairil mengatakan dirinya dan Mirat adalah anak dari sebuah zaman yang beda. Dan setiap seniman, kata Chairil sesungguhnya ditakdirkan harus seorang perintis jalan.
“Kita tidak boleh lagi cuma jadi alat musik penghidupan seperti orang-orang tua kita. Kita pemain dari lagu penghidupan,” tegas Chairil.
Wajah orang tua dan saudara Mirat sontak tegang. Ucapan Chairil yang menyerupai orasi kebudayaan itu, tak bisa diterima.
Kakak Mirat yang menjadi jaksa di Jakarta dikabari melalui sepucuk surat yang seketika itu turut naik pitam.
Ayah Mirat bersiteguh akan merestui hubungan Chairil dengan putrinya, asal penyair itu memiliki pekerjaan tetap.
Chairil yang tak punya uang sepeserpun kembali ke Jakarta dengan uang saku dari ayah Mirat.
Koper berisi buku-buku dan berkas tulisan ditinggalnya. Chairil tidak pernah kembali lagi ke Paron, Jawa Timur.
Cinta Chairil Anwar kepada Mirat begitu dalam. Saking membekasnya, untuk mengenang kisah asmaranya dengan Mirat, pada tahun 1949 Chairil membuat puisi berjudul: Mirat Muda, Chairil Muda dengan tambahan judul Di pegunungan 1943.
Kendati demikian, dalam perjalanan hidupnya, Chairil Anwar yang berjiwa bebas merdeka juga pernah jatuh hati dengan Karinah Moorjono, Dien Tamaela, Gadis Rasjid, Sri Ayati, Tuti Artic dan Ida Nasution.
Namun ia menikah dengan Hapsah Wiriaredja pada 6 September 1946 dan dikarunia seorang putri bernama Evawani.
Chairil yang pernah mengungkapkan dalam puisinya, ingin hidup seribu tahun lagi dan kalau berumur panjang akan menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan, akhirnya takluk oleh penyakit paru-paru yang diderita.
Pada 28 April 1949, di usia yang masih 27 tahun itu, Chairil Anwar wafat. Penyair legendaris Indonesia itu dimakamkan di Pemakaman Umum Karet, Jakarta.
Editor : Putra