Pada dasarnya, kawin tangkap melibatkan perempuan yang ditangkap dan dipaksa menikah dengan alasan yang dianggap sah secara budaya. Namun, perempuan tersebut tidak selalu setuju untuk menikah dengan laki-laki yang 'menculik'nya.
Kawin tangkap juga bisa terjadi karena adanya halangan dari persyaratan adat lainnya, namun pihak laki-laki tetap memaksa untuk menikahinya. Dalam konteks tradisi ini, seorang perempuan biasanya sudah didandani, dan calon mempelai pria juga tampil dengan pakaian adat serta menunggangi seekor kuda.
Setelah penangkapan, pihak laki-laki memberikan sebuah parang dan seekor kuda kepada perempuan sebagai tanda permohonan maaf dan tanda bahwa perempuan tersebut sudah berada di rumah keluarga pihak laki-laki. Tradisi ini menjadi unik karena sangat memperhatikan nama baik kedua keluarga, terutama dengan latar belakang keluarga yang terlibat.
Namun, kawin tangkap telah lama menuai kritik karena dianggap melanggar hak-hak perempuan dan hak asasi manusia (HAM). Di dalamnya terdapat elemen paksaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih modern.
Oleh karena itu, meskipun tradisi ini masih dilestarikan di sebagian wilayah Sumba, ada tuntutan yang semakin keras untuk memahami dan menghormati hak-hak perempuan dalam konteks budaya yang terus berubah.
Editor : Putra
Artikel Terkait